Makna Halal Bihalal dari Berbagai Sudut Pandang

Meski sudah berlalu, masyarakat masih merasakan kehangatan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1443 H atau Lebaran 2022. Perayaan Idul Fitri tak terlepas dengan berbagai macam tradisi yang dilakukan umat muslim di Tanah Air, salah satunya tradisi halal bihalal.  Halal bihalal adalah tradisi yang biasanya dilakukan dengan mengadakan pertemuan atau acara silaturahmi serta saling bermaaf-maafan.

Dilansir dari NU Online, Senin (9/5/2022), berikut ini beberapa makna halal bihalal yang perlu diketahui. Makna halal bihalal dalam segi bahasa, kata halal dari segi bahasa diambil dari kata halla atau halala. Kata halla maupun halala mempunyai berbagai makna sesuai dengan konteks atau rangkaian kalimatnya. Sedangkan secara umum, kedua kata tersebut memiliki arti menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, dan membebaskan ikatan yang membelenggu. Dari beberapa arti tersebut, dapat dipahami bahwa halal bihalal merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk menyambung kembali yang sebelumnya terputus. Dengan demikian, dilakukan halal bihalal bisa membantu masyarakat menyambung silaturahim untuk saling memaafkan dan terbebas dari kesalahan dan dosa yang diperbuat sebelumnya.

Makna halal bihalal dari segi hukum, Kata halal digunakan sebagai lawan balik dari kata haram. Hal ini menjadikan halal bihalal sebagai kegiatan yang dilakukan agar terbebas dari dosa dan kesalahan. Dengan kata lain, dari segi hukum halal bihalal dipahami sebagai salah satu usaha untuk mengubah sikap yang sebelumnya haram atau penuh dosa menjadi halal dan tidak lagi berdosa. Tak hanya itu, menurut pakar, istilah halal bihalal juga mencakup konteks makruh. Di mana sesuatu yang makruh adalah perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Sehingga dengan meninggalkan perbuatan tersebut maka akan mendapat pahala dan ganjaran kebaikan.

Selain dari segi bahasa dan segi hukum, makna halal bihalal juga dapat dipahami dari tinjauan Alquran. Dalam hal ini, halal yang thayyib merupakan berbagai hal yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Alquran memerintahkan umat muslim untuk melakukan berbagai aktivitas yang memberikan makna kebaikan dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi dasar mengapa Alquran tidak hanya menuntut umat muslim untuk saling memaafkan melainkan juga berbuat baik terhadap sesama. Pasalnya sikap saling memaafkan dan mengasihi antar manusia tentu dapat memberikan manfaat kebaikan di dunia.

Makna halal bihalal menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Profesor Nasaruddin Umar mengatakan, inti halal bihalal ialah silaturahim. “Silah, yang berarti konek. Ibaratkan sebuah listrik, jika negatif dan positifnya putus, maka listrik tersebut akan padam. Lampu, internet, dan lainnya juga turut mati,” kata Nasaruddin Umar, dalam acara Halal Bihalal Digital Lintas Iman pada 18 Mei 2021, Dikutip dari laman NU Online, Selasa (9/5/2022).

Jadi, dua istilah halal dengan yang pertama ialah ‘silah’ yang bermakna selalu positif. Lalu kedua, ‘rahim’, paparnya. “Kemudian jika dipadatkan lagi, maka intinya terletak pada dua kata yang disebut ummu sifat, ummul asma, di mana terdapat 99 nama Allah. Yang menjadi induknya, ialah Ar-Rahman dan Ar-Rahim,”jelas founder NUO itu. Dua kata tersebut, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berasal dari bahasa Arab, akar kata sama; yaitu rahima, yang berarti cinta. Jika Al-Qur’an dipadatkan menjadi satu kata, maka kata itu adalah cinta atau kasih. “Jadi sangat tidak beralasan jika ada yang melakukan gerakan atas nama Islam, jika menggerakkan kebencian. Itu sangat bertolak belakang dengan substansi Al-Qur’an itu sendiri, karena Al-Qur’an adalah cinta,” ungkapnya.

Dengan demikian, ia menyimpulkan, silaturahim ialah menjalin cinta yang sangat suci. “Kita ingin sekali agar di seluruh Indonesia nanti halal bihalal ini menjadi satu hal yang sangat perekat untuk bangsa Indonesia yang majemuk,” tutur Nasaruddin Umar.

Sejarah Halal Bihalal, Selain makna halal bihalal, ada baiknya juga mengetahui sejarahnya. Tradisi ini pertama kali dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1946. Pada masa itu, Indonesia diketahui sedang mengalami masalah disintegrasi bangsa. Dalam kondisi tersebut, Bung Karno kemudian memanggil KH. Wahab Chasbullah untuk memberikan saran dan pendapat guna mengatasi situasi politik tersebut. Pada saat itu, KH.Wahab Abdullah memberikan saran pelaksanaan kegiatan halal bihalal. Kegiatan ini dilakukan untuk tujuan membumikan dan menumbuhkan konsep ajaran Ahlussunah wal Jamaah. Dengan kegiatan ini diharapkan masyarakat Indonesia dapat mempererat tali persaudaraan, kemanusiaan dan kebangsaan.

Dalam Ukhuwah NU, ketiga hal ini disebut juga dengan islamiyah, basyariyah, dan wathaniyah, yang biasanya dilakukan pada momen bulan Syawal untuk saling bermaaf-maafan. Dilaksanakan pada awal-awal kemerdekaan, tradisi halal bihalal ini lantas bertahan hingga saat ini. Kegiatan silaturahmi ini bahkan dilakukan oleh masyarakat setiap perayaan Idul Fitri hingga kini baik dalam lingkup keluarga besar, lingkungan kerja, hingga kerabat dan teman dekat.