Pedestrian , sesuai dengan pengertian yang diterangkan oleh (Rubenstein, 1992) adalah pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal (origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki.

Istilah pedestrian berasal dari bahasa latin, yaitu pedestres yang artinya orang yang berjalan kaki.  Jalur pedestrian merupakan ruas pejalan kaki, baik yang terintegrasi maupun terpisah dengan jalan, yang diperuntukkan untuk prasarana dan sarana pejalan kaki serta menghubungkan pusat-pusat kegiatan dan/atau fasilitas pergantian moda.

(Darmawan, 2004 ) menuliskan bahwa jalur pedestrian pertama kali dikenal pada tahun 6000 SM di Khirokitia, Cyprus. Pada saat itu pedestrian terbuat dari batu gamping lalu permukaannya ditinggikan terhadap tanah dan pada interval tertentu dan dibuat ramp untuk menuju ke kelompok hunian pada kedua sisi-sisinya.

Pedestrian merupakan jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan sumbu jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keselamatan pejalan kaki yang bersangkutan. Jalur pedestrian saat ini dapat berupa trotoar, pavement, sidewalk, pathway, plaza dan mall.

Laman kajianpustaka.com menuliskan, jalur pedestrian yang baik harus dapat menampung setiap kegiatan pejalan kaki dengan lancar dan aman.

Sistem pedestrian yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor di pusat kota, menambah pengunjung ke pusat kota, meningkatkan atau mempromosikan sistem skala manusia, menciptakan kegiatan usaha yang lebih banyak, dan juga membantu meningkatkan kualitas udara.

Fungsi Pedestrian 

Prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki (pedestrian) secara umum berfungsi untuk memfasilitasi pergerakan pejalan kaki dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah, lancar, aman, nyaman dan mandiri.

Jalur pedestrian bukan saja berfungsi sebagai tempat bergeraknya manusia atau menampung sebagian kegiatan sirkulasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun juga merupakan ruang (space) tempat beraktivitasnya manusia itu sendiri, seperti kegiatan jual-beli, media interaksi sosial, pedoman visual ataupun ciri khas suatu lingkungan kawasan.

Menurut Murtomo dan Aniaty (1991), fungsi jalur pedestrian adalah sebagai berikut:

  1. Pedestrianisasi dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat sehingga mengurangi kerawanan kriminalitas.
  2. Pedestrianisasi dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomi sehingga akan berkembang kawasan bisnis yang menarik.
  3. Pedestrianisasi sangat menguntungkan sebagai ajang kegiatan promosi, pameran, periklanan, kampanye dan lain sebagainya.
  4. Pedestrianisasi dapat menarik bagi kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual.
  5. Pedestrianisasi mampu menghadirkan suasana dan lingkungan yang spesifik, unik dan dinamis di lingkungan pusat kota.
  6. Pedestrianisasi berdampak pula terhadap upaya penurunan tingkat pencemaran udara dan suara karena berkurangnya kendaraan bermotor yang lewat.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 3 Tahun 2014 tentang pedoman perencanaan, penyediaan, dan pemanfataan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki di kawasan perkotaan, fungsi pedestrian atau jalur pejalan kaki adalah:

  1. Jalur penghubung antar pusat kegiatan, blok ke blok, dan persil ke persil di kawasan perkotaan.
  2. Bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pergantian moda pergerakan lainnya.
  3. Ruang interaksi sosial.
  4. Pendukung keindahan dan kenyamanan kota.
  5. Jalur evakuasi bencana.

Fasilitas bagi pejalan kaki tentu harus memenuhi juga persyaratan aksesibilitas bagi kelompok difabel atau berkebutuhan khusus. Namun dewasa ini masih banyak fasilitas pedestrian yang belum sesuai dengan ketentuan yang ada. Misalnya pembangunan jalur pemandu atau guiding block yang belum sesuai. Ramp atau jalur landai yang terlalu curam akan membahayakan pengguna kursi roda.

Mengutip Kompas.com, pembangunan jalur pedestrian yang aman untuk difabel telah diatur dalam Pedoman Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2018.

Berdasarkan pedoman tersebut, syarat pembangunan fasilitas pedestrian difabel dirincikan dalam beberapa poin sebagai berikut:

  1. Ruang gerak pedestrian difabel. Sesuai dengan pedoman yang ada, lebar ruang gerak yang diatur untuk pengguna kruk adalah minimal 95 sentimeter dari sisi kanan ke kiri dan minimal 120 sentimeter dari depan ke belakang. 

    Sedangkan untuk tuna netra, lebar ruang gerak minimal dari sisi kanan ke kiri adalah minimal 90 sentimeter, dari depan ke belakang minimal 95 sentimeter dan tinggi minimal bangunan adalah 210 sentimeter.

    Sementara untuk pengguna kursi roda, lebar ruang gerak minimal dari sisi kanan ke kiri adalah 160 sentimeter dengan tinggi minimal bangunan sebesar 130 sentimeter.

  2. Ramp atau jalur landai. Ramp adalah fasilitas yang digunakan untuk memudahkan pengguna jalan untuk berpindah ke area yang lebih tinggi maupun rendah. Fasilitas ini sangat membantu pengguna kursi roda untuk mobilisasi. 

    Untuk syaratnya, tingkat kelandaian tidak boleh melebihi 8 persen dan dilengkapi dengan pegangan tangan minimal di salah satu sisi, meskipun sangat direkomendasikan untuk dimiliki kedua sisi.

    Selain itu, pegangan tangan harus dibuat dengan ketinggian 0,8 meter yang diukur dari permukaan tanah serta panjangnya harus melebihi ujung jalur landai.

  3. Passing place. Yaitu area yang digunakan untuk mendahului pengguna jalan lain. Fasilitas tersebut biasanya digunakan pada trotoar yang lebarnya kurang dari 1,5 meter. Karenanya, untuk menambah kenyamanan pedestrian khususnya bagi difabel, disarankan area passing place ini untuk ada pada minimal setiap jarak 50 meter.
  4. Penyediaan informasi. Bagi tuna netra atau low vision, mereka akan mengandalkan pemberian informasi dengan suara atau merasakannya ketika sedang berjalan. 

    Salah satu penandanya adalah suara lalu lintas atau penyangga jalan yang landai, sehingga bisa menjadi tanda serta sumber peringatan yang dapat dideteksi.Karenanya, diperukan penyediaan informasi meliputi pesan verbal, sinyal suara yang dapat didengar, tanda timbul pada setiap fasilitas untuk memberi pemahaman bagi penyandang tuna netra atau low vision.

  5. Guiding block atau lajur pemanduGuiding Block ini Biasanya terdapat di trotoar dan berwarna kuning dengan tanda yang timbul berbentuk tabung atau lingkaran. Tanda timbul berbentuk tabung merupakan blok yang digunakan sebagai pengarah.Blok pengarah harus memiliki ruang kosong sebesar 600 milimeter pada kiri dan kanan blok. 

    Sementara tanda timbul berbentuk lingkarang merupakan blokk peringatan yang biasanya diletakkan pada pemberhentian trotoar, jalur landai naik atau turun, memasuki area penyebrangan atau halte.

    Penempatan blok peringatan ini harus memiliki lebar minimal strip sebesar 600 milimeter guna memperjelas perpindahan antara jalur pedestrian dengan trotoar.